PENYEDIAAN PETA DASAR DALAM PEMBUATAN PETA KADASTER LAUT

SEBAGAI MASUKAN KEBIJAKAN

DALAM PENGATURAN RUANG LAUT DI INDONESIA

(Studi Kasus : Perairan Selat Madura)

ABDI RACHMAD AFFANDI, YUWONO, DWI BUDI MARTONO

Program Studi Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November

Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia

Abstrak

Kadaster laut merupakan metode dalam menata dan memanfaatkan ruang laut. Laut berfungsi untuk aktivitas pelayaran, perikanan, dan pertambangan. Adanya aktivitas yang beragam di laut membutuhkan penanganan supaya tidak terjadi tumpang tindih dalam pemanfaatan aktivitas di Laut. Menangani masalah tumpang tindih salah satu caranya dengan pembuatan peta dasar.

Peta dasar merupakan peta topografi yang dimanfaatkan untuk dapat diturunkan kedalam peta tematik. Informasi yang ada pada peta dasar dapat digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peta tematik.

Pada penelitian ini, ingin menyediakan sebuah peta dasar baru agar dapat dimanfaatkan dalam pembuatan peta kadaster laut. Peta baru yang dibuat merupakan gabungan peta Dishidros, Peta LPI dan Peta Bakosurtanal dengan menggunakan unsur kartografis. Pembuatan peta ini diharapkan sebagai acuan peta kadaster laut yang dapat bermanfaat untuk menangani permasalahan yang terjadi di laut.

Kata Kunci : Kadaster Laut, Peta Dasar, Kartografis

PENDAHULUAN

Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan kepulauan Nusantara yang terbentang dari ujung Sumatera sampai ke Papua. Dua pertiga dari luas wilayah Indonesia terdiri dari laut, sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis bagi bangsa dan negara Indonesia . Laut memberikan kehidupan secara langsung bagi jutaan rakyat Indonesia dan secara tidak langsung memberikan kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ruang Laut ( Marine Space ) perairan Indonesia sangat bervariasi. Memerlukan suatu politik kebijakan dan peraturan-peraturan yang menjadi landasan bagi negara untuk mengelola wilayah laut tersebut. Pemberian kebijakan dan pengaturan ruang laut supaya tidak terjadi konflik pemanfaatan ruang, adanya sinkronisasi antar kegiatan, adanya skala prioritas dalam pemanfaatan, serta adanya kepastian hukum bagi para stakeholder atau pemangku kepentingan dalam melakukan kegiatannya di wilayah laut.

Permasalahan penggunaan peta dasar yang berbeda untuk kepentingan penyusunan rencana tata ruang maupun kepentingan lain di wilayah pesisir dan laut menjadi masalah yang sangat penting untuk segera dipecahkan. Oleh sebab itu, pemanfaatan peta dasar yang telah terintegrasikan antara sumber pembuatan dan penggunanya di Indonesia khususnya wilayah selat Madura yang memiliki potensi dan permasalahan yang strategis serta merupakan kawasan utama penggerak utama (prime mover) ekonomi, sehingga menjadi penting untuk menghindari perbedaan luasan wilayah perencanaan dan pengelolaan di kawasan pesisir laut.

Perumusan Masalah

Penyediaan Peta dasar kadaster laut untuk pengelolaan kadaster laut.

Batasan Permasalahan

  1. Penyajian data fisik dalam wujud peta dasar kadaster laut, tidak membahas data yuridis.

  2. Peta dasar untuk pembuatan peta dasar kadaster laut berasal dari peta Dishidros TNI AL, Peta Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta Rupabumi Bakosurtanal.

  3. Wilayah daerah penelitian yakni daerah perairan Selat Madura

Tujuan Penelitian

  1. Pembuatan peta dasar kadaster laut.

  2. Memudahkan pemetaan ruang laut dengan tersedianya peta dasar kadaster laut.

Manfaat Penelitian

  1. Menyajikan data fisik kepemilikan persil Laut

  2. Menghindarkan tumpang tindih kepemilikan persil di laut.

METODOLOGI PENELITIAN

Alat dan Bahan

    1. Hardware

Notebook –AE0418 Intel Celeron M Processor1.6 GHz, Memori 446 MB.

2. Software

MS Word 2003 untuk penulisan laporan

Autocad Land Dekstop 2004

Bahan

  1. Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1:50.000

  2. Peta Bakosurtanal skala 1:25.000 dan

  3. Peta Dishidros skala 1: 12.500

Metodologi Penelitian



Gambar 1. Diagram alir Kegiatan Penelitian

HASIL DAN PEM BAHASAN

Peta Dasar

Pembuatan peta dasar kadaster laut memerlukan beberapa peta untuk dapat mengintegrasikan peta dasar yang sudah pernah ada di laut. Peta yang digunakan adalah peta Janhidros, peta Bakosurtanal dan Peta LPI. Dari ketiga peta tersebut, memiliki perbedaan mendasar yang harus disamakan. Beberapa hal yang berbeda yaitu skala, datum, sistem proyeksi, simbol dan batas persil. Adanya perbedaan pada ketiga peta, maka digunakan satu pedoman peta yaitu peta Janhidros Skala 1:12.500 sedangkan peta LPI dan Bakosurtanal melengkapi informasi yang kurang pada peta Janhidros. Permasalahan kedua mengenai datum digunakan datum vertikal HWL ( High Water Level) dan datum horizontal WGS 1984, untuk sistem proyeksi menggunakan UTM (Universal Transverse Mercator), kemudian Simbol yang digunakan menggunakan acuan yang ada pada IHO, dimana simbol IHO berhubungan dengan daerah Laut. Sedangkan batas persil untuk peta dasar kadaster laut membutuhkan sebuah titik dasar teknik, maka dari itu titik dasar teknik berupa titik imajiner yang ada di peta.


Gambar 2. Hasil Peta Dasar

Analisa Peta Dasar

Pembuatan sebuah peta dasar membutuhkan suatu acuan atau panduan yang benar untuk semua pihak sebagai upaya keseragaman seluruh peta dasar kadaster laut. Berikut ini merupakan analisa mengenai peta dasar yang dapat digunakan untuk peta dasar kadaster laut.

Skala

Skala peta adalah perbandingan antara jarak peta dan jarak horizontal dilapangan. Ada dua macam skala yakni skala angka (ditunjukkan dalam angka, misalkan 1:25.000, satu senti dipeta sama dengan 25.000 cm atau 250 meter di keadaan yang sebenarnya), dan skala garis (biasanya di peta skala garis berada dibawah skala angka).

Skala peta dibuat dua macam yaitu skala numerik dan grafik. Skala numerik yaitu dengan menuliskan skala 1:10.000, atau skala 1:2.500 atau skala 1:1.000 dengan huruf arial dengan ukuran font 14 atau dengan huruf tegak dengan ukuran Cl. 120 dan tebal 0,3 mm.


Gambar 3. Jenis Skala Peta

Skala peta dibuat sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkan faktor-faktor kejelasan tampilan peta. Untuk bidang-bidang tanah yang relatif kecil ( ratusan meter persegi) digunakan skala 1:500 atau skala 1:1000

Pembuatan peta dasar kadaster laut ini memakai beberapa skala, yaitu 1:12.500, 1:25.000 dan 1:50.000. Peta dengan skala yang lebih besar yaitu 1:12.500, yakni peta Dishidros yang cukup memberikan informasi mengenai wilayah laut. Skala sangat penting dicantumkan untuk melihat tingkat ketelitian dan kedetailan objek yang dipetakan. Sebuah belokan sungai akan tergambar jelas pada peta 1:10.000 dibandingkan dengan pada peta 1:50.000, contoh bentuk-bentuk pemukiman akan lebih rinci dan detail pada skala 1:10.000 dibandingkan peta skala 1:50.000. Berdasar Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pasal 10 yaitu RZWP-3-K (Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) Provinsi mencakup wilayah perencanaan daratan dari kecamatan pesisir sampai wilayah perairan paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dalam satu hamparan ruang yang saling terkait antara ekosistem daratan dan perairan lautnya. Skala peta Rencana Zonasi disesuaikan dengan tingkat ketelitian peta rencana tata ruang wilayah provinsi, sesuai dengan Pasal 14 ayat (7) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berbunyi Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana tata ruang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan dalam Peraturan pemerintah dalam Pasal 27 ayat (1) dalam hal wilayah daerah kabupaten yang bentangan wilayahnya sempit dapat digunakan peta wilayah dengan wilayah skala 1:50.000 atau skala 1:25.000.

Kadaster laut yang ada di Australia penggunaan peta sebagai penentuan batas, hanya menggunakan peta topografi skala 1:25,000 dan data kadaster diambil dari basis data spasial kadaster. Berikut merupakan hasil perbandingan peta skala 1:12.500 dan skala 1:25000 :

Tabel 1. Perbedaan Informasi skala

1:12.500 dan skala 1:25.000

No

Objek

1:12.500

1:25.000

Keterangan

1.

Garis Pantai

Ada

Ada

Perbedaan dipengaruhi datum vertikal

2.

Hidro

grafi

Ada

Ada

Perairan skala 1:12.500 lebih detail dibanding 1:25.000

3.

Pemu

kiman

Ada

Ada

Pemukiman skala 1:12.500 lebih detail dibanding 1:25.000

4.

Trans

portasi

Ada

Ada

Transportasi skala 1:12.500 lebih detail dibanding 1:25.000

5.

Batas Administrasi

Ada

Ada

Tidak dipengaruhi skala.

6.

Garis Kontur

Ada

Ada

1:25.000 selang kontur 12.5 m dan 1:12.500 selang kontur 6.25 m

7.

Titik Tinggi

Ada

Ada

Tidak dipengaruhi skala.

8.

Bangun

an

Ada

Ada

1:12.500 memiliki bangunan yang lebih detail dibanding 1:25.000

9.

Rambu-rambu

Ada

Ada

Rambu-rambu skala 1:12.500 lebih detail dibanding 1:25.000


Informasi yang didapatkan pada peta skala 1:12.500 lebih detail dibandingkan dengan 1:25.000, sehingga lebih baik menggunakan skala 1:12.500.

Datum Geodetik

Datum geodetik adalah bentuk dan ukuran bumi dan titik pusat serta orientasi sistem koordinat yang digunakan dalam memetakan bumi. Terdapat dua datum yang terdiri dari datum horisontal maupun datum vertikal. Datum horisontal yang berbeda dalam penggunaannya akan memberikan penyimpangan posisi dalam radius beberapa ratus meter. Pengukuran pada lokasi yang tidak terlalu jauh dari pantai dengan GPS yang menggunakan datum WGS84, maka akan terjadi penyimpangan beberapa ratus meter. Hal ini akan menjadikan lokasi pengamatan tergambarkan di darat pada peta yang menggunakan elipsoida Bessel 1841. Beberapa peta telah menggunakan datum horisontal WGS84, sehingga dalam survey GPS yang menggunakan WGS84 tidak membutuhkan transformasi. Ketiga peta yang ada hanya peta LPI yang menggunakan ID-1974, sehingga membutuhkan transformasi untuk survey. Tanpa adanya transformasi pada WGS84 lebih baik menggunakan datum horisontal WGS84 pada pembuatan peta dasar kadaster laut agar tidak membutuhkan proses transformasi.

Datum vertikal harus mempertimbangkan penggunaan dari pembuatan peta. misalnya untuk kebutuhan navigasi membutuhkan suatu peta yang menunjukkan kedalaman air rendah terendah (LLWL). Selain itu pada konferensi Hidrografi Internasional 1926 diusulkan datum pasut dari peta seharusnya sebuah bidang serendah mungkin, sehingga elevasi pasut akan jarang sekali lebih rendah dari bidang itu. Bakosurtanal menggunakan datum MSL (mean sea level) disebabkan membutuhkan tinggi yang konstan sebagai acuan pada tinggi yang ada di daratan. Untuk peta yang menggunakan HWL (High Water Level) digunakan untuk pembangunan atau kegiatan yang membutuhkan pasang tertinggi dari laut agar apabila dibangun sebuah bangunan tidak akan tenggelam atau banjir, misalnya untuk pembangunan pelabuhan laut. Berdasar penjelasan diatas, maka membutuhkan kajian lebih lanjut untuk menentukan datum vertikal.

Sistem Proyeksi

Prinsip dari proyeksi peta adalah usaha mengubah bentuk bola (bidang lengkung) ke bentuk bidang datar, dengan persyaratan sebagai berikut :

  1. Bentuk yang diubah itu harus tetap.

  2. Luas permukaan yang diubah harus tetap.

  3. Jarak antara satu titik dengan titik yang lain di atas permukaan yang diubah harus tetap.

Untuk memenuhi ketiga syarat itu sekaligus merupakan hal yang tidak mungkin. Untuk memenuhi satu syarat saja dari tiga syarat di atas untuk seluruh bola dunia, juga merupakan hal yang tidak mungkin. Hal yang harus dilakukan hanyalah satu saja dari syarat di atas untuk sebagian kecil permukaan bumi.

Untuk dapat membuat rangka peta yang meliputi wilayah yang lebih besar harus dilakukan kesesuaian ketiga syarat di atas. Akibat dari kesesuaian itu terdapat bermacam jenis proyeksi peta.

Berdasarkan bidang asal, proyeksi dibedakan atas :

  1. Bidang datar (zenithal)

  2. Kerucut (conical)

  3. Silinder/Tabung (cylindrical)

  4. Gubahan (arbitrarry)

Jenis proyeksi huruf a sampai huruf c merupakan proyeksi murni, tetapi proyeksi yang dipergunakan untuk menggambarkan peta yang dijumpai sehari-hari tidak ada yang menggunakan proyeksi murni di atas, melainkan merupakan proyeksi atau rangka peta yang diperoleh melalui perhitungan (proyeksi gubahan).

Kesempatan ini tidak akan menjelaskan bagaimana perhitungan proyeksi tersebut di atas, akan tetapi cukup jenis proyeksi apa yang biasa digunakan dalam pembuatan peta dasar. Berdasar ketiga peta yang dimanfaat-kan untuk pembuatan peta dasar adalah peta Janhidros, peta Bakosurtanal maupun peta LPI kita gunakan proyeksi projective yang tersedia pada software autocad dimana bidang datar akan diproyeksikan dengan empat titik kalibrasi. Proyeksi ini mirip dengan proses rektifikasi fotogrametri atau dalam istilah kartografi digital merupakan bentuk dasar dari rubber Sheet. Tiap bagian peta akan diulur atau dikerut dalam porsi yang bervariasi. Garis lurus akan dipertahankan lurus, sementara garis paralel bisa menjadi tidak paralel. Garis paralel yang secara proyektif menjadi konvergen akan dikembalikan menjadi garis paralel.

Proyeksi yang dipakai pada tiap peta berbeda sehingga, tetapi dari proyeksi yang ada yakni mercator (Janhidros), Transverse Mercator (LPI) maupun Universal transverse mercator (Bakosurtanal) memiliki keistimewaan arah pada ketiga proyeksi benar, jarak dan luas terdistorsi, pada proyeksi TM dan UTM distorsi direduksi dengan membagi kedalam zone-zone, TM sebesar 3° dan UTM sebesar 6°.

Peta ini menyesuaikan proyeksi peta yang digunakan berdasarkan ketiga peta yang dapat dubah kedalam bentuk UTM. Alasan lain yang sesuai untuk memilih UTM (Universal Transverse Mercator), disebabkan :

  1. Kondisi geografi negara Indonesia membujur disekitar Garis Katulistiwa atau garis lingkar Equator dari Barat sampai ke Timur yang relatif seimbang.

  2. Untuk kondisi seperti ini, sistim proyeksi Tranverse Mercator/Silinder Melintang Mercator adalah paling ideal (memberikan hasil dengan distorsi minimal).

  3. Dengan pertimbangan kepentingan teknis maka dipilih sistim proyeksi Universal Transverse Mercator yang memberikan batasan luasan bidang 6º antara 2 garis bujur di elipsoid yang dinyatakan sebagai Zone.

  4. Proyeksi UTM dipakai GPS dan populer, sehingga bisa diikuti oleh setiap instansi.

  5. Dari koordinat UTM mudah ditansformasikan kedalam sistem proyeksi lainnya.

  6. Banyak peta dasar di Indonesia menggunakan proyeksi UTM.

  7. Rumus-rumus pada proyeksi UTM berlaku Universal (seluruh dunia atau seluruh zone).

Koordinat yang digunakan pada ketiga peta overlay adalah peta bakosurtanal, peta Janhidros dan peta LPI menggunakan koordinat geografi dimana koordinat yang digunakan bakosurtanal sudah diubah dalam UTM pada daerah penelitian adalah

Tabel 2. Koordinat UTM peta Bakosurtanal

No

Koordinat

Kiri Bawah

Kanan Bawah

Kiri Atas

Kanan Atas

1

679409mT;

9198293mU

702418mT;

9198203mU

665725mT;

9236199mU

702564mT;

923507mU

Peta Janhidros menggunakan koordinat geografis dan dalam peta penelitian yang sudah diubah dalam UTM, yaitu :

Tabel 3. Koordinat UTM peta Janhidros

N

Koordinat

Kiri Bawah

Kanan Bawah

Kiri Atas

Kanan Atas

1

679409mT;

9198293mU

693214mT;

9198242mU

679458mT;

9212117mU

693267mT;

9212067mU

Sedangkan peta LPI dalam bentuk UTM adalah:

Tabel 4. Koordinat UTM peta LPI

No

Koordinat

Kiri Bawah

Kanan Bawah

Kiri Atas

Kanan Atas

1

681811mT;

9200773mU

695432mT;

9200722mU

681847mT;

9210665mU

695471mT;

9210614mU

Perubahan ketiga peta yang dipakai dalam bentuk UTM menyebabkan ketiga peta dapat dilakukan overlay menjadi satu peta.

Simbo l

Simbol menurut bentuknya digolongkan menjadi tiga, yaitu sbb :

  1. Simbol titik digunakan untuk menyatakan lokasi, atau bentuk unsur-unsur lain yang erat hubugannya dengan skala peta, misalnya bentuk suatu kota dalam skala 1:1.000.000 dapat diwakili dengan simbol titik, tetapi dalam skala 1:1.000 simbol titik digunakan untuk menandai titik kontrol tanah.

  2. Simbol garis digunakan untuk mewakili unsur-unsur yang berbentuk garis seperti sungai,jalan, batas administrasi, da sebagainya.

  3. Simbol luas/ruang digunakan untuk mewakili unsur-unsur topografi yang berbentuk luas seperti area pemukiman, danau, daerah administrasi, dan sebagainnya.

Sebuah simbol peta dapat menunjukkan karakteristik dari suatu objek. Peta dasar ini meggunakan simbol yang tersedia pada informasi simbol yang ada pada peta Janhidros, peta Bakosurtanal, dan peta LPI.

Agar peta dapat dengan mudah dimengerti oleh pengguna peta, pemakaian tata warna dan simbol sangat membantu untuk mencapai tujuan tersebut.

Penggunaan warna pada peta (dapat juga pola seperti titik-titik atau jaring kotak-kotak dan sebagainya) ditujukan untuk tiga hal :

  1. Untuk membedakan

  2. Untuk menunjukan tingkatan kualitas maupun kuantitas (gradasi)

  3. Untuk keindahan

Dalam menyatakan perbedaan digunakan bermacam warna atau pola. misalnya laut warna biru, perkampungan warna hitam, sawah warna kuning dan sebagainya. Sedangkan untuk menunjukan adanya perbedaan tingkat digunakan satu jenis warna atau pola, misalnya untuk membedakan besarnya curah hujan digunakan warna hitam dimana warna semakin cerah menunjukan curah hujan makin kecil dan sebaliknya warna semakin legam menunjukan curah hujan semakin besar.

Pembuatan peta yang menarik, akan sangat dipengaruhi oleh pemilihan warna yang tepat untuk setiap simbol. Seberapa jelas simbol itu dapat diidentifikasi oleh pengguna peta akan bergantung pada efisiensi warna yang digunakan. Selain itu, seleksi warna yang sudah standar juga merupakan aspek penting yang harus diperhatikan, agar peta tersebut cukup menarik dan jelas, terkait dengan informasi yang ingin disampaikan, sehingga efisiensi pemilihan warna sangat mempengaruhi penyampaian informasi dari peta.

Khusus untuk peta dasar pendaftaran tanah yang dibuat secara digital, maka file peta dasar harus dibagi dalam layer-layer informasi yang secara tegas membedakan unsur yang diinformasikan dalam setiap layer.

Pembagian layer bertujuan untuk mempermudah analisa terhadap peta digital maupun untuk mendapatkan warna yang menarik. Setiap objek ditempatkan dengan nama, warna, serta tipe garis yang berbeda.

Garis merupakan gabungan beberapa titik yang menginformasikan suatu area maupun yang berbentuk garis. Pembuatan peta digital memerlukan ketebalan, disebabkan suatu garis sangat mempengaruhi tampilan peta yang menarik. Apabila menggunakan garis pada ketebalan yang sama akan menimbulkan tampilan yang kurang menarik untuk dilihat.

Batas Persil

Penelitian ini memberikan informasi batas persil yang penting untuk masukan dalam pembuatan peta kadaster laut :

  1. Batas persil yang digunakan adalah sepanjang 3 milimeter dan berwarna hitam

  2. Pada peta dasar di darat terlihat jelas batas persil yang ada, sehingga mudah untuk dilakukan konstruksi.

  3. Permasalahan di laut yang tidak jelas lokasi batas persil wilayah, maka membutuhkan titik dasar teknik imajiner yang ada pada peta untuk dijadikan alat kontruksi suatu wilayah dan titik dasar teknik ini analogi dengan yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional.

KESIMPULAN

Berdasarkan Latar belakang, rumusan masalah, telaah pustaka, pengolahan dan analisa data diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :

  1. Kadaster laut merupakan upaya untuk menghindari terjadinya konflik akibat tumpang tindih pada fungsi laut.

  2. Kadaster laut membutuhkan sebuah peta dasar untuk dijadikan acuan dalam pembuatan peta kadaster laut. Peta dasar yang telah dibuat oleh Janhidros, Bakosurtanal dan LPI butuh diintegrasikan untuk mendapatkan peta dasar baru yang berguna sebagai acuan, berdasar pada peta Janhidros yang memiliki skala 1:12.500.

  3. Peta dasar terintegrasi digunakan sebagai usulan peta kadaster laut dimana peta dasar baru yang dibuat menggunakan standar kartografis dan mengacu pada kadaster darat dalam undang-undang no 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dan sesuai dengan keputusan menteri Negara agraria No 3 tahun 1997 untuk dapat digunakan dan sesuai dengan aturan yang ada pada Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan dilengkapi oleh Undang-undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang serta Peraturan pemerintah No 10 tahun 2000 tentang tingkat ketelitian peta.

  4. P

    51

    eta dasar kadaster laut yang diusulkan memiliki kriteria sebagai berikut : skala yang digunakan adalah skala 1: 12.500, datum horisontal WGS 1984 dan datum vertikal sesuai kebutuhan penggunaan, sistem proyeksi universal Transverse Mercator (UTM), simbol disesuaikan dengan IHO ( International Hidrographic Organization) dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) serta batas persil ditandai dengan warna hitam ketebalan 3 mm yang didapatkan pada peta daerah pesisir dan laut khususnya daerah selat Madura yaitu, Bangkalan, Gresik dan Surabaya.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat, maka peneliti dapat memberikan saran untuk mendapatkan hasil yang lebih memuaskan dalam kegiatan kadaster laut ini adalah :

  1. Segera dilakukan pengintegrasian peta dasar untuk dapat dijadikan acuan dan peta yang dibuat dalam tugas akhir ini dapat dijadikan landasan.

  2. Butuh peta skala yang lebih besar tiap daerah disebabkan dengan skala yang lebih besar akan mendapatkan daerah atau wilayah penelitian yang lebih detail.

  3. Agar data mengenai peta dasar tidak bingung, perlu adanya lembaga yang menangani dan mengatur masalah kadaster laut baik itu dari Badan pertanahan nasional (BPN), Badan koordinasi survei dan pemetaan nasional (Bakosurtanal), Dinas hidrografi dan oseanografi (Dishidros) yang sekarang berubah menjadi Jawatan hidrografi dan oseanografi (Janhidros) maupun Direktorat kelautan dan perikanan (DKP).

DAFTAR PUSTAKA

Collier, P.A., F.J.Leahy and I.P.Williamson. 2002. Defining A Marine Cadastre for Australia. Marine Cadastre Project, University of Melbourne. Melbourne, Australia.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Otonomi Daerah Di Wilayah Laut, Perspektif Pemerintah Kabupaten Kota. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Semiloka pengembangan pokok-pokok kebijakan pengaturan hak-hak atas pemanfaatan ruang laut. Jakarta.

Direktorat Pengukuran dan Pemetaan. 2000. Standar Peta Dasar Pendaftaran. Jakarta : Badan Pertanahan Nasional

Djais, F.H. 2006. Tata Ruang Laut dan Kadaster Laut dalam Konteks Perencanaan. Jakarta

Khomsin. 2006. Buku Ajar Pemetaan Digital. Surabaya : Program Studi Teknik Geodesi FTSP-ITS Surabaya

Manurung, Managam dkk. 1998. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta : Koperasi Pegawai Badan Pertanahan Nasional”BUMI BAKTI”.

Pancaningrum, D. 2006. Aspek Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka Pengembangan Pokok-pokok Kebijakan Pengaturan Hak-hak Atas Pemanfaatan Ruang Laut. Jakarta.

Rais, J. 2003 .Pedoman Penentuan Batas Wilayah Laut Kewenangan Daerah Menurut UU No.22/1999. Jakarta

Rais, J dan Tantomo, J.P. 2005. Blok Ambalat: Opini Publik yang "Misleading"?. Jakarta

Rais, J. .2006. Kadaster Laut Di Indonesia: Suatu Konsep Pengelolaan, Penataan dan Pengadministrasian Ruang Laut - Acara Peringatan Hari Nusantara VII. Jakarta. Puslitbang Geologi Kelautan

Widodo, S., Leach, J. and Williamson, I.P. 2002. Marine Cadastre and Spatial Data Infrastructures in Marine Environment . Proceedings of Joint AURISA and Institution of Surveyors Conference, 25-30 November, Adelaide, South Australia, 13p.

Yulianto, W. 2003. Aplikasi AutoCAD 2002 untuk Pemetaan dan SIG. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Yuwono. 2001. Kartografi Dasar. Surabaya : Program Studi Teknik Geodesi FTSP-ITS Surabaya.

Presiden Republik Indonesia. 1997. <URL: http://www.bpn.go.id/uu%20tentang%20ta/pp_24_97.htm >. Dikunjungi tanggal 06 Nopember 2007, 12:47 WIB.

Departemen Pertahanan. <URL: http://dokumen.deptan.go.id/doc/BDD2.nsf/7f6355c540229e1b4725666100335d9d/032c607dc881e3d6c7256da5001e8eb6?OpenDocument >. Dikunjungi tanggal 06 Nopember 2007, 12:47 WIB.

Romenah. 2001. < URL:http://e-adventure expedition.blogspot.com/2007/01/pengetahuan-dasar-navigasi-darat.html >. Dikunjungi 12 Nopember 2007, 22.00 WIB.

Departemen Kehutanan. 1999. <URL:http://www.dephut.go.id/temp/index.php?lempar=dl.php&&idlempar=2009>.Dikunjungi Tanggal 12 Nopember 2007, 22.00 WIB

Pataga. 2006. <URL:http://www.gappala.or.id/pendaki/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=6>. Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB

Hamid. 2001. <URL:http://www.jupem.gov.my/info_jupem/anualreport2001.pdf>.Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB

Buana Katulistiwa. 1999. <URL:http://www.geografiana.com/makalah/teknologi/esensi-peta>. Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB

<URL:http://mbojo.wordpress.com/2007/04/08/peta/>. Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB

BKTM. 2000. <URL:http://www.bktrn.org/public/PP_10_THN_2000.pdf>. Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB

<URL:http://tanahkoe.tripod.com/bhumiku/id10.html>. Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB

Tongkul.F. 2002. <URL:http://www.ums.edu.my/sst/geo/Persediaan%20lapangan.html>. Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB

elisa. 2004. <URL:http://elisa.ugm.ac.id/chapter_view.php?Arkeologi.Anggraeni&82>.Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB

Geocities. <URL:http://www.geocities.com/yaslinus/dijital.html>.

Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB

Buana Katulistiwa. 1999. <URL:file.php/1/materi/Geografi/PENGETAHUAN%20PETA.pdf>. Dikunjungi Tanggal 1 Desember 2007, 16.00 WIB