MODE WACANA BAHASA KEKUASAAN

Enie Hendrajati

Abstract


Manusia dilahirkan tidak terlepas dari kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia bukan saja sebagai makhluk sosial, ekonomi, dan budaya, akan tetapi juga termasuk makhluk politik. Dengan dasar bahwa manusia adalah makhluk politik yang ekuivalen makhluk dengan naluri berkuasa maka perilaku sosial-politiknya akan terpancar dalam bahasa dan perilaku berbahasanya. Manusia dalam berkegiatan dengan siapa pun, tentang apa pun, kapan pun, dan dengan saluran apa pun cenderung tidak bisa netral dari hasrat dan naluri untuk mempengaruhi, menguasai, mempertahankan, dan  atau memperluas tindakan lainnya.

Mode wacana menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, hal yang  diharapkan oleh para pelibat dari bahasa yang digunakan, mode retoriknya, apa yang diharapkan pelibat dari gaya bahasa yang digunakan, apakah  gaya bahasa yang digunakan dapat digolongkan sebagai didaktik, membujuk, menjelaskan dan semacamnya.

Bahasa kekuasaan yang merupakan keniscayaan atau naluri kemanusiaan tampaknya bergerak dalam lingkup derajat antara; berkisar antara. Manusia dalam berbahasa dengan naluri ”transaksi”, bahkan ”berduel” dapat dengan bebas bergerak antara yang sarkastis hingga yang eufemistis (substansinya tetap naluri menguasai, bertransaksi, bernegosiasi, dan duel) asalkan masih dalam standar deviasi tertentu, atau batas kenormalan dan kelaziman. Melebihi batas kenormalan berarti abnormal, tidak lazim, gila dan adu fisik.

Bahasa dan kekuasaan adalah dwitunggal. Dalam komunikasi kebahasaan akan selalu ada nuansa-nuansa saling dominasi, kekuasaan, pengaruh, autoritas.Mode wacana yang menyertainya dapat bercorak retorik-persuasif, baik yang tampak rasional-persuasif maupun yang bercorak retorik emosional-persuasif, bahkan yang bercita rasa agresif-dogmatis.

Kenyataan bahwa bahasa dengan mode retorik seperti itulah yang mengundang alternatif paradigma-teoritis sehingga kajian dan analisis bahasa dan wacana tidak sekedar dari paradigma empirisme-positivisme, tetapi juga dari paradigma fenomenologi, bahkan dengan paradigma discursive-practice.


Keywords


mode wacana, kekuasaan, bahasa, fenomenologi, empirisme- positivisme, discursive-practice.

Full Text:

PDF

References


Fairclough, Norman. 1983. Language and Power. Singapore: Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd.

Gerungan, W.A. 1983. Psychologi-Sosial Suatu Ringkasan. Jakarta: PT Eresco.

Hikam, Muhammad A.S. 1996. ”Bahasa dan Politik: Penghampiran ”Discursive Practice”. H. 77. dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (Ed). Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru.Bandung: Mizan.

Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan.1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Penerjemahan Drs. Asruddin Baron Tou, MA dari Language,Context, and Text: Aspect of Language in a Social- Semiotic Perspection.

Malik, Dedy Djamaluddin dan Yosal Iriantara (Ed) 1994. Komunikasi Persuasif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nimmo, Dan. 1993. Komunikasi Politik:Komunikator, Pesan, dan Media. Penerjemah Tjun Surjaman dari Political Commonication in Amerika. Cetakan II. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pabottinggi, Mochtar.19996. “Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan”. Hal. 161. Dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (Ed). Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.

Polak, Mayor. 1979. Sosiologi suatu Buku Pengantar Ringkas.Jakarta: PT Ichtiar Baru.




DOI: http://dx.doi.org/10.12962/j24433527.v2i1.665

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

p-ISSN (1979-5521)  e-ISSN (2443-3527)